assalaamu
'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
innalhamdalillaah,
nahmaduhuu
wa
nasta'iinuhuu wa nastaghfiruhu
wa
na'uudzubillaahi min syuruuri 'anfusinaa
wa
min syayyi-aati a'maalinaa
man
yahdillaahu falaa mudhillalahu
wa
man yudhlilhu falaa haadiyalahu
asyhadu
anlaa ilaaha illallah wahdahu laa
syariikalaahu wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhuu laa nabiyya
ba'dahu
Jamaah
Shalat Shubuh yang dirahmati Allah
Subhana Wata Allah
Kita
panjatkan puja dan puji syukur kehadiratan allah swt, pada kesempatan yang
berbahagia ini kita kembali bisa menjalankan shalat subuh berjamaah dan menghadiri salah satu diantara majelis ilmu.
Kita harapkan semoga Allah Subhana Wata Alla, berkenan untuk melimpahkan kepada
kita semuanya ilmu yang bermanfaat, sehingga bisa kita amalkan sebagai bekal
untuk menghadap Allah swt, amin ya rabal
alamin.
Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan ke haribaan baginda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta para keluarga, sahabat, dan semua
orang yang mengikutnya hingga hari kemudian.
Jamaah
Shalat Shubuh yang dirahmati Allah
Subhana Wata Allah
Mungkin
kita pernah mendengan pepetah jawa yang berbunyi : Urip Iku Urup.
Mopo niku Urip ? urip niku nggih hidup. Nnopo niku hidup, hudup itu ya kalau
manusia, masih bisa bernafas, masih bisa maka, minum bekerja, beribadah,
berkembang biak dan lain-lainnya. Lha
nek Urup niku nopo ? Urup niku
artine menyala. Urip iku urup
adalah salah satu dari sekian banyak pepatah jawa. Pepatah jawa ini merupakan
salah satu mutiara nasehat yang sudah semakin pudar penerapannya di zaman ini.
Terutama di saat egoisme semakin menggurita dan mendominasi kehidupan manusia.
Urip iku urup jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bermakna hidup itu semestinya membuat
nyala. Nyala di sini diartikan positif. Bila diibaratkan api, maka api tersebut
menerangi. Memberi manfaat bagi sekitarnya.
Kita
semua sudah tahu bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Menjalin komunikasi dengan yang lain. Manusia
tidak bisa mengisolir diri, meskipun memiliki materi yang berlimpah. Itulah
mengapa hidup itu harus menyala. Saling tolong-menolong adalah suatu kepastian.
Itulah mengapa manusia membutuhkan manusia yang lain.
Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“ Khoirunnaas amfa’uhum linnaas “
Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. HR. Ath-Thabarany
Seorang
bijak pernah berujar, “Jangan engkau menjadi orang sukses. Tapi jadilah orang
yang penuh manfaat bagi orang lain”.
Inilah
salah satu tujuan hidup manusia. Seseorang harusnya memiliki keterpanggilan
untuk saling menolong saudaranya bukan mementingkan ego diri masing-masing.
Seseorang mestinya memiliki keterpanggilan untuk saling menolong saudaranya,
memiliki jiwa dan semangat memberi manfaat kepada sesama. Kebaikan seseorang,
salah satu indikatornya adalah kemanfaatannya bagi orang lain. Keterpanggilan
nuraninya untuk berkontribusi menyelesaikan problem orang lain. Jadi, manusia
terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, seperti yang
diungkapkan kutipan hadits di atas.
Ada
paradoks di sini, paradoks itu artinya pernyataan yang seolah-olah bertentangan
(berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya
mengandung kebenaran. Ada pernyataan yang menyatakan bahwa : Manusia itu
menganggap kesuksesan dapat mendatangkan kebahagiaan. Dan itu memang benar,
tetapi nyatanya ketika mereka menggapai
satu titik kepuasan, maka ia akan mengejar titik kepauasan yang lain di atasnya
dan dia tidak akan pernah puas. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menggambarkan,
“Andaikan anak
Adam memiliki dua lembah berisikan harta, niscaya dia ingin lembah yang ketiga.
Tidak ada yang bisa mengisi perut anak Adam melainkan hanya tanah. Allah akan
menerima taubat hamba yang bertaubat”. HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas
radhiyallahu’anhuma.
Kebahagiaan
yang hakiki adalah ketika kita bisa berbagi. Selain merasakan kebahagiaan
ketika berbagi atau membantu orang lain, Allah akan menolong melalui jalan yang
tidak kita duga sebelumnya. Dalam sebuah hadits sahih diterangkan,
“Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama ia senantiasa menolong saudaranya”.
HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Ruang
berbagi dengan orang lain amatlah luas. Mestinya,
hidup atau urip, kita selaraskan, atau kita samakan dengan
tujuan penciptaan Tuhan atas manusia, yaitu
menjadi manusia yang rahmatan lil 'alamin, menjadi rahmat
bagi semesta alam. Mestinya, manusia
membingkai kehidupannya dengan misi pengabdian kepada Tuhannya dengan
beroriantasi manjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, apapun profesinya.
Yang
paling tinggi adalah berbagi ilmu agama. Alias mengajarkannya, terutama kepada
yang membutuhkannya. Misalnya mengajarkan al-Qur’an kepada putra-putri kita dan
anak-anak TPQ. Menjadi guru, misalnya tidak sekedar mengajar dan kemudian
mendapat, gaji, tetapi lebih menghayati profesinya sebagai guru, menjadi
pendidik sejati, memperlakukan anak didiknya dengan penuh kasih sayang,
memperhatikan masa depan mereka, sehingga menjadi generasi yang berkarakter dan
peduli pada kehidupan dan memperoleh derajat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Berikutnya
berbagi harta. Apalagi bagi mereka yang mendapatkan kelapangan rizki. Di antara
ladang kebajikan yang tidak layak diabaikan adalah: amal jariyah, seperti wakaf
untuk sarana ibadah atau pendidikan agama.
Adapun
yang minim ilmu dan harta, maka ia bisa berbagi tenaganya kepada orang lain. Dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa seharusnya setiap persendian manusia
mengeluarkan sedekah setiap harinya. Setiap persendian manusia diwajibkan
untuk bersedekah setiap harinya mulai matahari terbit. Berbuat adil antara dua
orang adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau
mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang
baik adalah sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan
shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari
jalan adalah sedekah. (HR. Bukhari). Dan ternyata yang dimaksud dengan
sedekah itu adalah kebaikan, utamanya kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama
Yang
sering kita lupakan adalah bahwa, bersikap menjadi manusia yang bermanfaat adalah sesungguhnya kita telah
menanamkan kebaikan kepada diri kita sendiri. Sapa nandur, sapa ngundhuh, siapa
menabur, dia akan menuai. Firman Allah jelas sekali dalam hal ini, yaitu:
Sering
kita kalau pergi takjiah , ke kematian seseorang, baik itu teman, tetangga atau bahkan keluarga,
kadang ada di antara para takjiah atau para pelayat itu yang bilang ikut berbela sungkawa, dan bahkan ada yang mengatakan bahwa
meskipun dia tidak ada hubungannya
dengan yang mati tapi dia merasa sangat bersedih atau bahasa jawanya Masio
Dudu Sanak Dudu Kadang, yen Mati Melu
Kelangan. Rasanya memang aneh, bagaimana mungkin bukan famili bukan
saudara tetapi kalau orang tersebut meninggal kita akan merasakan ikut
kehilangan. Secara logika orang yang tidak mempunyai pertautan darah dengan
kita memang bukan saudara atau famili kita. Jadi jika orang yang bersangkutan
meninggal secara logika kita tidak perlu merasa kehilangan. Tetapi kenapa si pelayat bisa berbicara
seperti itu? berarti bisa jadi si mati itu mempunyai jasa bagi si pelayat,
sehingga si pelayat itu bisa ngomong seperti itu dan jika yang mengatakan seperti
itu orang banyak, bisa jadi orang yang mati itu sangat berjasa pada banyak
orang.
Dan
rasullulah mengatakan : “Kalian akan
menjadi saksi Allah di bumi,”
Ada
lagi hadist Rosullulah lain yang berbunyi :
Ada riwayat dari
Abul Aswad Addail, Saat itu Abul Aswad duduk didekat Umar. Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang yang mati lalu ada tiga orang
bersaksi akan kebaikannya, maka ia akan mendapatkan surga.”“Kalau cuma dua
orang, bagaimana ya Rasul?” tanyaku.“Ya, meskipun cuma dua orang.” Kami tidak
bertanya bila yang menjadi saksi hanya seorang.
Alangkah
senangnya kita nanti jika kita meninggal banyak orag yang menyatakan, Masio Dudu Sanak Dudu Kadang, yen Mati Melu
Kelangan.
Demikian sedikit yang dapat
kami sampaikan. Wabillahi taufiq wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh